Seperti Komitmen Yang Teruji
Sore
ini, aku mengantar seorang sahabat ke bandara untuk bertolak ke jakarta.
Pesawat sudah take-off 30 menit yang lalu. Tapi hujan menahanku disini. Aku
mengamati sekelilingku, tanpa terkecuali mereka yang berlalu lalang di
hadapanku. Aku tercenung menikmati syahdunya suara rintik hujan.
Sesaat kemudian tiba-tiba
aku dikejutkan oleh seseorang bertubuh jangkung dan berdada bidang yang berjalan ke arahku. Aku merasa tidak asing dengan gesture nya. Kubelalakan
mataku lebar-lebar. Kupastikan bahwa penglihatanku benar-benar masih sempurna.
Kali ini aku tidak sedang berhalusinasi seperti biasanya. Tak salah lagi, itu
dia. Seseorang yang tak pernah ku lihat lagi batang hidungnya. Seseorang yang
masih bertengger manis di hati terdalam.
Desir-desir
itu kurasakan mengalir hingga ke ubun-ubun, membuat seluruh tubuhku gemetar.
Aku berusaha sekuat mungkin megendalikan diri dan membendung air mata agar
tidak jebol. Ku panggil namanya dengan suara bergetar. Dia mendekatiku tanpa
kata, tatapnya kosong dan penuh tanya. Mungkin dia pangling karena aku berhijab sekarang. Dia melempar senyum. Aku
membalasnya. Kami sangat kaku di detik-detik pertama itu. Ku perhatikan dia
sangat berbeda, tubuhnya terlihat kurus, urat-uratnya terlihat jelas, dan
kulitnya sedikit menggelap.
Masih
tajam dalam ingatanku bagaimana pertemuan terakhir itu, di hari wisudaku
setahun lalu, sebelum akhirnya dipertemukan kembali hari ini. Aku ingin
menghujaninya dengan banyak pertanyaan. Tapi aku menahannya. Aku tidak ingin
terlihat seperti orang yang sedang menginterogasi. Kali ini aku ingin menjadi
pendengar yang baik, mendengar apapun yang akan dia katakan. Dan bersiap untuk
mendengar pernyataan yang mungkin akan menyakitiku.
Di
luar dugaan, dia membuatku sangat nyaman. Tidak ada sedikitpun kata-katanya
yang menyinggungku. Kami berbincang dan berkelakar di tengah hujan yang mereda.
Kali ini dia lebih hangat dan aktif mengoceh. Aku benar-benar seorang
pendengar.
Tidak
terasa waktu menunjukkan pukul 22.30, itu artinya kami sudah menghabiskan waktu
selama 3 jam di bandara. Tiga jam setelah satu tahun. Dan mungkin 3 jam yang
paling berkualitas sejak 3 tahun mengenalnya.
Yang
bisa dideskripsikan dari perasaanku hari ini adalah kacau. Bahagia, sedih, dan
kesal bercampur aduk siap diolah. Aku bahagia karena 365 hari dalam rindu dan
1.095 hari dalam perasaan yang dalam seolah terbalaskan. Aku sedih karena tak
pernah punya kesempatan dan waktu yang berkualitas dengannya. Aku kesal karena
pertemuan ini harus terjadi, saat aku baru saja membuat komitmen dengan diriku
sendiri bahwa aku akan melupakannya. Dengan ini, Tuhan seperti ingin menguji
komitmen itu.
Suara
komitmenku ternyata memang tak sekuat suara lain dari hati yang dalam. Aku
ingin berhenti tapi aku tidak tahu bagaimana cara jitu untuk menghentikannya.
Aku sudah berkali-kali mencoba. Tapi perasaan ini tetap saja sama, masih sama
sejak pertama kali jatuh hingga detik ini. Kali
ini aku ingin mengaku, bahwa aku memang sedang tidak baik-baik saja. Aku goyah.
Yogyakarta, 29 November 2015
Comments
Post a Comment