Menjelang Keberangkatannya Ke Negeri Kincir Angin


Dia bercerita panjang lebar pengalaman interview beasiswa untuk melanjutkan studinya di Belanda sore itu. Sorot matanya penuh harap, menanti takdir terbaik dari Tuhan. Dia berkata “aku sudah berusaha, sekarang aku berserah pada Allah untuk hasil akhirnya, jika aku gagal disini aku akan mencoba lagi, masih banyak kesempatan di depan”. Jelas, tegas, dan lugas, semangatnya menyala-nyala. Aku tahu bagaimana perjuangannya untuk mendapatkan kesempatan ini. Pengorbanan waktu, tenaga, dan uang tentu sudah dia lakukan.

Semula aku mempunyai niatan yang sama untuk melanjutkan studi di negeri kincir angin itu. Beberapa berkas persyaratan untuk memperoleh beasiswa sudah pernah aku perjuangkan. Alih-alih terus maju, aku justru harus berhenti di tempat. Sebagai seorang anak yang ingin membuktikan baktinya kepada kedua orangtua, aku harus bekerja agar bisa mandiri untuk membantu meringankan beban finansial keluarga. Ini pilihanku saat ini. Semoga keadaan ekonomi keluarga segera membaik agar aku bisa melanjutkan langkahku yang sementara terhenti untuk meraih mimpi besar itu.

Lima belas hari kemudian pengumuman datang dan dia dinyatakan lolos menjadi awardee. Mendengar berita itu, aku merasa menjadi orang yang paling bahagia. Demi mimpi dan masa depannya, aku mendukung sepenuhnya.

Hari terus berganti dan dia tak boleh lengah. Ada banyak hal yang harus di persiapkan. Untuk mengawali perjuangan barunya disana, tentu selain visa dan berkas administrasi lainnya, yang tidak kalah penting harus dia siapkan adalah mental. Dia harus bersiap menghadapi lingkungan baru karena culture shock akan sangat mungkin terjadi. Dia juga harus mempersiapkan diri untuk belajar bahasa lokal, setidaknya bahasa sehari-hari. Di beberapa situasi mahir berbahasa inggris saja tidak cukup. Tidak semua orang fasih berbasa Inggris disana, terutama penduduk lokal. Aku yakin dengan mengerti het nederlands akan sangat membantunya selama disana. Aku mendukung penuh untuknya mengambil course dalam hal ini.

Kesibukannya kian meningkat tajam. Dan aku sibuk dengan pekerjaan baruku. Kami tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Hingga akhirnya aku menyadari benang merah hubungan ini semakin samar. Entah ada dimana ujungnya.

Waktu terus melesat tanpa bisa dihentikan barang sebentar. Rasanya hari manis yang penuh kejutan itu baru kemarin menghampiri kami. Tapi ternyata sudah berlalu beberapa bulan. Dan saat ini, genap satu bulan lagi dia akan meninggalkan Indonesia untuk menjemput seluruh mimpinya di Belanda. Sejujurnya di samping perasaan ikut bahagia, perasaan khawatir tidak bisa ku abaikan begitu saja. Memang dia pergi bukan untuk tak kembali, tetapi beberapa tahun itu adalah tetap sebuah waktu, yang berganti setiap hari, yang selalu menyisakan hal yang berbeda. Siapa yang menjamin dia akan kembali dengan hati yang sama?. Jogja-Belanda itu bukan jarak yang main-main, kami jelas butuh jembatan untuk tetap saling terhubung. Ini bukan soal gadget, teknologi canggih, atau apapun. Ini soal komitmen

Aku tentu tidak akan segelisah ini seandainya dia memintaku untuk bertahan dan menunggunya. Toh sejujurnya aku tidak ingin menyerah sampai disini. Tapi keadaan yang tidak jelas seperti ini memaksaku untuk bersikap. Aku tidak boleh egois memaksa seseorang mempertahankan atau memperjuangkanku jika memang tidak bersedia. Dan aku tidak boleh egois untuk diriku sendiri.
Akhirnya apa yang bisa kulakukan saat diantara kami tidak ada komitmen yang berhasil tercipta?. Satu-satunya cara yang kudapati saat ini adalah aku harus berkompromi dengan hatiku untuk ikhlas melepas. Barangkali dengan begitu, aku akan lebih mudah menjalani hari-hariku ke depan.
Mulai saat ini aku serahkan seluruh hatiku kepadaMu ya Rabb yang maha mempersatukan apa yang seharusnya bersatu. Suatu hari saat dia kembali, apakah kembali untukku atau untuk orang lain, semoga Tuhan menentukan yang terbaik untuk kami.




Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review Laser CO2 (Tahi Lalat)

Review Diamond Peel Treatment

Pengalaman Saya di Rekrutmen Nestle Indonesia