Korban Bullying 1
Aku
tak pernah menyangka kasus bullying yang
beberapa tahun belakangan ini menjadi sorotan dari berbagai pihak itu juga
menimpa orang-orang terdekatku. Mulanya kupikir kasus bullying sekolahan hanya ada di sekolah di kota-kota besar. Karena
saat aku di pedesaan dulu, aku, teman-temanku, dan orang-orang di sekelilingku
hidup secara bergotong royong dengan rasa kepedulian dan kekeluargaan yang
sangat tinggi. Walau di desa kecil, kami dididik untuk menjadi manusia yang beradab
dan tak menyakiti sesamanya. Sekalipun ada rasa tak suka dengan
sesama teman, kami tak pernah terus memusuhi, memojokkan, atau bahkan hingga menyakiti fisiknya. Ternyata aku keliru, sekolah-sekolah di pedesaan pun kini tak kalah maraknya. Mungkin karena pengaruh acara televisi yang kurang mendidik, globalisasi, modernisasi, degradasi moral dan akhlak, atau entahlah.
sesama teman, kami tak pernah terus memusuhi, memojokkan, atau bahkan hingga menyakiti fisiknya. Ternyata aku keliru, sekolah-sekolah di pedesaan pun kini tak kalah maraknya. Mungkin karena pengaruh acara televisi yang kurang mendidik, globalisasi, modernisasi, degradasi moral dan akhlak, atau entahlah.
Kisah
bullying pertama berasal dari anak
salah seorang karyawan yang telah menjadi tangan kanan ibuku selama hampir 15
tahun. Dialah Rahma yang telah kuanggap sebagai saudara. Rahma adalah anak
tunggal. Tak pernah kurang kasih sayang. Ayahnya yang bekerja untuk keluargaku
adalah orang yang sangat loyal, ramah, aktif, dan mampu bergaul dengan siapapun
dari kalangan manapun, bukan seorang pendiam. Ayahnya akan bekerja sangat gigih
untuk memenuhi segala kebutuhannya. Ibunya pun bukan orang pendiam. Tetapi
Rahma sangat pendiam. Ayahnya sering menceritakan dia padaku. Tentang
pribadinya yang meski pendiam, dia ranking 6 di kelasnya tutur Ayahnya. Dia
pintar membaca dan selalu dapat menangkap semua pelajaran yang gurunya berikan.
Dia juga anak yang prihatin, tak pernah minta macam-macam. Saat anak seusianya
sering merengek untuk jalan-jalan ke mall, minta dibelikan mainan ini, mainan
itu, dan barang-barang lucu lainnya, dia memilih diam di rumah dan menabungkan
uang jajannya.
Orang
tuanya pernah bercerita padaku, tentang anaknya yang sering disakiti oleh
teman-temannya. Pernah suatu hari sepulangnya dari sekolah, orang tua rahma
melihat ada luka-luka cakar hingga berdarah di tangan anaknya itu. Anaknya
sering menangis saat pulang sekolah tanpa memberitahu apa yang terjadi. Karena
terlalu sering, orang tua rahma pun penasaran dan mencari tahu sebabnya ke
sekolah. Ternyata menurut tutur gurunya, bahwa anaknya itu sering sekali
dikerjain oleh teman-temannya. Entah menyembunyikan tas, buku, atau peralatan
tulis. Lalu, baru mengembalikannya saat akan pulang sekolah. Kabarnya saat
diperlakukan seperti itu oleh teman-temannya, rahma tak pernah melawan atau
sekedar bertanya mengapa mereka melakukan hal-hal menjengkelkan semacam itu.
Rahma hanya diam, lalu menangis. Aku pernah bertanya pada orang tua rahma
apakah anaknya itu punya teman yang mungkin sering datang kerumah untuk sekedar
main atau mengerjakan PR bersama. Jawabannya tidak. Kalau begitu mungkin di
lingkungan rumahnya, apakah sering main dengan seorang teman barangkali. Lagi,
jawabannya tidak.
Aku
semakin penasaran. Akhirnya aku datangi salah seorang teman satu kelasnya yang
rumahnya tidak jauh dari rumah rahma. Aku melemparkan beberapa pertanyaan.
Kebetulan sekali orang tua dari anak ini sangat terbuka dengan kedatanganku dan
kooperatif dengan pertanyaan-pertanyaanku. Aku mendapat banyak informasi.
Menurut mereka, memang rahma itu anak yang sangat pendiam, tidak mau bergaul,
dan tidak punya teman. Jangankan untuk berbincang dengan banyak teman, dengan
teman sebangkunya saja tidak pernah. Gurunya pun sangat penasaran mengapa rahma
begitu diam. Menurut tutur mereka gurunya pun sering menunjuk rahma untuk maju
kedepan kelas untuk membaca. Tapi suara rahma tak terdengar, sampai gurunya
harus mendekatkan telinganya ke mulut rahma. Hanya gerakan bibir saja yang
terlihat. Bukan tidak bisa membaca, hanya tak mau mengeluarkan suara. Tak mau
menyerah, akhirnya si guru mencoba dengan cara lain yaitu menyembunyikan tas,
buku, dan peralatan menulisnya. Maksudnya adalah si guru berharap dengan adanya
barang pribadi yang hilang maka rahma akan mengadu dengan suaranya. Alih-alih
dapat mendengar suaranya, justru membuat teman-teman kelasnya makin asyik membully rahma. Parahnya, Kini
teman-temannya jadi sering meniru perbuatan gurunya itu. Teman-temannya jadi
hobi meledek, mencibir, memojokkan, bahkan hingga main tangan. Lalu aku juga
bertanya tentang prestasi rahma di sekolah. Jawabannya rahma tidak ranking dan
tak begitu menonjol di kelasnya. Aku sempat kaget, karena ini sangat bertolak
belakang dengan yang sering diceritakan oleh Ayah rahma padaku. Entah mana yang
harus ku percaya.
Jujur
dari dulu aku pun tak pernah mendengar suara rahma, tak pernah bisa ngobrol dengannya.
Semua pertanyaan ringanku seperti bagaimana kabar, bagaimana sekolah, dan
beberapa pertanyaan ringan lainnya selalu dijawab dengan senyum malu. Hanya
senyum, lalu mengumpat dibalik badan Ayah atau Ibunya. Aku pikir dulu saat dia
masih TK mungkin memang masih malu, tetapi seiring berjalannya waktu aku
berharap saat SD nanti dia akan bisa diajak berbincang ringan. Kini rahma sudah
berusia 11 tahun, seharusnya sebagai anak normal seusianya sudah sangat mampu
bercerita ini itu atau berkeluh kesah tentang sekolah dan teman-temannya.
Nyatanya, rahma tidak begitu. Setiap tahun aku mudik untuk berlebaran di
kampung halaman dan setiap malam takbiran juga rahma dan orang tuanya datang
kerumah untuk bersilaturahmi, belum pernah juga sekalipun aku mendengar suaranya.
Hingga akhirnya kuketahui bahwa dia adalah korban bullying di sekolahnya. Aku bertanya-tanya apa sebab musababnya ini semua terjadi. Aku melihat ayah dan ibunya tak kurang dalam mendidik rahma, tak ada masalah dalam keluarga. Hanya rahma memang pribadi yang pendiam. Tetapi aku ingin orang tua rahma tidak membiarkan lagi anaknya menjadi seorang pendiam, apa-apa diam, ada yang mengganggu diam, dan diam jika ada yang berlaku tidak adil. Bukan begitu, tetapi cukuplah menjadi pendiam untuk hal-hal yang memang tak perlu untuk dikatakan atau hal-hal yang memang tidak penting. Aku khawatir jika ini dibiarkan, akan berdampak buruk pada saat remaja atau beranjak dewasa nanti dimana akan terjadi banyak gejolak di masa-masa ini. (Bbs, Juli 2014)
Hingga akhirnya kuketahui bahwa dia adalah korban bullying di sekolahnya. Aku bertanya-tanya apa sebab musababnya ini semua terjadi. Aku melihat ayah dan ibunya tak kurang dalam mendidik rahma, tak ada masalah dalam keluarga. Hanya rahma memang pribadi yang pendiam. Tetapi aku ingin orang tua rahma tidak membiarkan lagi anaknya menjadi seorang pendiam, apa-apa diam, ada yang mengganggu diam, dan diam jika ada yang berlaku tidak adil. Bukan begitu, tetapi cukuplah menjadi pendiam untuk hal-hal yang memang tak perlu untuk dikatakan atau hal-hal yang memang tidak penting. Aku khawatir jika ini dibiarkan, akan berdampak buruk pada saat remaja atau beranjak dewasa nanti dimana akan terjadi banyak gejolak di masa-masa ini. (Bbs, Juli 2014)
Comments
Post a Comment