Secarik Rindu

Menanti senja. Ah, senja lagi. Senja selalu membuat kambuh penyakit rindu. Klasik memang, kesyahduannya selalu membuat suasana hati buncah. Sore itu aku duduk di pelataran masjid kampus ba’da asyar. Rupanya senja berhiaskan gerimis. Perpaduan yang ciamik, cantik sekali. Aku suka gerimis dengan aroma tanah basahnya yang unik. Aku suka burung-burung yang berlarian menyelinap pada lembayung itu. Kesemuanya itu selalu membuatku
teringat akan satu nama, dia. 

Dia yang selama ini memenuhi ruang hatiku. Nyaris tak ada celah untukku memikirkan mereka yang datang mendekat membawa cinta. Terkadang aku merasa sangat buruk dan egois. Tak memberi mereka keadilan atas haknya menyatakan perasaan, atau bahkan sekedar memberi mereka kesempatan. Tapi apalah aku ini. Tak berani aku memberikan mereka harapan-harapan sedang hati ini telah dia bawa pergi. Meski beberapa kali mencoba, masih saja tak bisa. Hatiku tetap padanya.

Senja dan gerimis sore itu membawa lamunanku kembali pada saat beberapa kali secara tiba-tiba aku melihatnya, beberapa bulan yang lalu. Selalu. Hanya aku yang tahu saat kami bertemu. Sungguh, aku hanya mampu melihatnya dari kejauhan. Jangankan mengajaknya berbincang lebih lama, untuk sekedar menyapa saja bibirku kelu. Lagi. Aku kehilangan kesempatan, dia berlalu begitu cepat. Kemudian menghilang untuk waktu yang lama. Tak pernah lagi muncul batang hidungnya. Tak pernah lagi kulihat senyumnya. Tak pernah lagi kulihat sudut matanya yang sendu.

Sayang, dia tak pernah tau bahwa aku selalu seperti ini sejak pertemuan pertama dulu. Kadang berbunga, kadang kelabu, tak pernah menentu. Ah, aku ingin sekali segera melupakannya saja. Tapi semakin mencoba, justru rindu semakin meradang. Gerah, sesak, rasanya tak karuan. Jika sudah demikian, tentu aku menangis. Menangis hingga puas, lalu berusaha menetralkan dengan pikiran jernih yang masih tersisa. 

Seperti yang pernah dikatakan oleh ustadku, bahwa apa yang terjadi pada kita adalah tergantung pada prasangka kita kepada Allah. Maka aku hanya mencoba untuk terus berpikir positif dan mensyukuri anugerah cinta ini. Meski kadang ada lara yang tak tertahankan. Tetapi bukankah lara adalah nikmat-Nya jua?, aku hanya perlu percaya bahwa Allah akan segera mengobatinya. Meski kadang ada pula rindu yang menggebu dan tak bisa dikompromi itu. Tanpa tahu bagaimana cara menyampaikan padanya,  maka aku hanya perlu menuliskannya. Melalui tulisan aku dapat mengungkapkan segala yang ingin kukatakan, tanpa merasa risih ataupun sungkan. Seperti saat aku malas berbicara banyak hal dan hanya berkata “aku ingin bertemu dengannya, itu saja”. Saat dimana aku merasa tak ada yang mengerti tentang rindu ini. Maka padanya tulisan, kupilih agar hati ini tidak hanya memendamnya. (Bbs, Juli 2014)












Comments

Popular posts from this blog

Review Laser CO2 (Tahi Lalat)

Review Diamond Peel Treatment

Pengalaman Saya di Rekrutmen Nestle Indonesia