Hujan Vulkanik di Dua Masa

Gunung sering diibaratkan sebagai pasak bumi, jika pasak tersebut hancur maka bumi pun akan hancur. Ah, tak usah jauh-jauh membayangkan bagaimana jadinya jika gunung-gunung itu hancur. Sedikit saja gunung berapi berulah manusia menjadi sangat repot. Jelas saja hal ini menjadi bukti nyata bahwa sebesar apapun kehebatan manusia tidak akan pernah bisa menandingi dahsyatnya kekuatan alam. Manusia begitu kerdil dan tak berdaya di hadapan Allah.
Seperti ketika gunung berapi meletus. Ratusan bahkan puluhan ribu orang terkena imbasnya. Ada banyak kesusahan dan penderitaan yang dialami oleh para korban di daerah sekitar gunung. Mereka harus meninggalkan rumah dan terpaksa mengungsi di tempat yang ala kadarnya. Belum lagi kesulitan karena kebutuhan logistik yang sangat minim. Bahkan tidak hanya penduduk di daerah sekitar gunung saja, tetapi yang jaraknya jauh pun mungkin menerima dampaknya. Seperti hujan abu vulkanik yang membuat aktivitas menjadi lumpuh. Dalam kurun waktu 4 tahun aku mengalaminya sebanyak 2 kali. Pertama, hujan abu vulkanik akibat meletusnya Gunung Merapi di tahun 2010 sekitar bulan Oktober-November. Saat itu aku masih menjadi Gamada (Gadjah Mada Muda) atau mahasiswa baru di UGM Yogyakarta. Banyak sekali korban meninggal dan kehilangan harta bendanya. Korban meniggal ada 353 orang termasuk Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi yang ditemukan gosong dalam keadaan sujud. Mbah Maridjan ditemukan oleh para relawan dirumahnya yang hangus terbakar oleh terjangan awan panas. Merapi erupsi berkali-kali, letusan pertamanya terjadi pada hari selasa, 26 Oktober 2010. Karena setiap hari status awas maka setiap hari pula perasaan menjadi sangat was-was. Terlebih lagi aku tidak punya sanak saudara di Yogyakarta dan teman pun masih sedikit karena masih menjadi mahasiswa tingkat pertama, tentu saja keadaan ini sangat menakutkan. Waktu itu masih berupa erupsi-erupsi kecil sehingga dampaknya tidak terlalu mempengaruhi aktivitas perkuliahan di UGM. Mahasiswa dan civitas akademika tetap masuk. Namun semakin hari Merapi semakin tidak menentu suara gemuruh di waktu malam hari beberapa kali terdengar. Pernah juga jendela kamar kos bergetar diikuti suara-suara gemuruh yang terdengar makin jelas. Hingga akhirnya erupsi terbesarnya terjadi pada tanggal 4-5 November 2010. UGM dan Universitas-universitas lain diliburkan hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Yogyakarta dihujani abu vulkanik tebal dan jarak pandang kurang lebih hanya 2 meter, keadaan begitu sepi dan mencekam. Keadaan ini memaksaku untuk ikut mengungsi dan meninggalkan Yogyakarta untuk sementara waktu. Aku pergi ke semarang bersama temanku beserta seniroku dan temannya menggunakan sepeda motor. Niat hati memang akan tinggal di semarang di kediaman temanku. Tetapi semarang pun dihujani abu vulkanik meski tidak separah di Yogyakarta. Akhirnya aku melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman menggunakan kereta.

Aku mengingat kejadian 4 tahun lalu itu sebagai suatu pengalaman yang mengesankan, menakutkan, sekaligus tidak mengenakkan. Pengalaman itu kini terulang kembali. Ya, hujan abu vulkanik. Tetapi bukan akibat meletusnya Gunung Merapi melainkan Gunung Kelud yang terletak  di perbatasan antara wilayah kabupaten Kediri, kabupeten Blitar, dan kabupaten Malang, Jawa Timur. Gunung Kelud meletus pada tanggal 13 Februari 2014 pukul 22.49 WIB. Jauh memang letaknya dari Yogyakarta namun letusannya mengarah ke barat sehingga wilayah Jawa tengah seperti Solo dan Yogyakarta ikut dihujani abu vulkanik. Waktu itu aku bangun tidur kurang lebih sekitar pukul 05.00 pagi tanggal 14 Februari 2014 (kata orang tanggalnya cantik dan tepat hari valentine “minuman macam apa tuh valentine?” hahaha *entahlah “nyatanya hari bencana untuk para korban” Astagfirullah). Aku keluar kamar untuk mengambil air wudhu untuk sholat subuh. Setelah membuka pintu kamar aku melihat seperti ada asap-asap di langit. Aku mengira ada kebakaran. Setelah kuperhatikan atap rumah dari balkon semua telah berubah menjadi putih. Aku melihat ke arah lampu jalan dari balkon kos-kosan ternyata hujan abu tebal. Suara kaget ku mungkin juga mengagetkan teman-teman lain yang masih tertidur hingga mereka terbangun, membuka pintu kamar masing-masing dan sontak bertanya “Ada apa?”. Mulanya aku berpikir Merapi kembali erupsi, mengingat siklus 4 tahunan sehingga kira-kira tahun ini (2014) Merapi akan kembali erupsi. Tapi salah seorang teman menginfokan bahwa “Gunung Kelud meletus tadi malam”. Ya, aku merangkumnya dalam catatan hidupku bahwa aku telah mengalami hujan abu vulkanik ketika masih menjadi mahasiswa baru dan kembali mengalami saat kini menjadi mahasiswa semester akhir yang tahun ini insya Allah wisuda *amin*.

Beberapa dokumentasi keadaan pasca hujan abu vulkanik di wilayah UGM : 

      Lapangan basket di depan kost tertutup abu vulkanik


                                            Bundaran UGM

 Pintu gerbang memasuki wilayah kampus UGM

Gedung GSP tidak terlihat karena abu tebal yang berterbangan

 Gedung GSP dari jalan pancasila

Keadaan jalan pancasila UGM

Masjid kampus UGM

Rumput-rumput dan pepohonan di halaman masjid kampus UGM yang tidak lagi hijau

Jalan Bhineka Tunggal Ika UGM

Perumahan di pinggiran sungai code, dilihat dari jembatan baru UGM










Photo taken by me

Comments

Popular posts from this blog

Review Laser CO2 (Tahi Lalat)

Review Diamond Peel Treatment

Pengalaman Saya di Rekrutmen Nestle Indonesia