Sebuah Ungkapan Untuk Ayah
Ayah bukan orang yang romantis, hampir tidak pernah mengungkapkan kasih sayang dengan kalimat indah yang mendayu-dayu. Sebagai anak yang melankolis dan egois, kadang aku kesal. Tapi seiring pendewasaan diri, aku mulai memahami bahwa setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk mengungkapkan rasa. Kadang rasa memang tidak cukup diungkapkan hanya dengan kata-kata atau kalimat puitis. Dan Ayah melakukannya dengan perbuatan.
Aku beruntung, Ayah tak pernah sedikitpun mengekangku. Ayah memberiku kebebasan yang nyata. Yang kemudian ku pahami bahwa itulah caranya mendidikku untuk bertanggung jawab atas pilihan dan diri sendiri. Dengan segala keterbatasan, Ayah tak pernah menyerah, selalu gigih berusaha untuk memenuhi semua kebutuhan demi keberlangsungan pendidikanku hingga perguruan tinggi. Mencukupi sandang, pangan, dan papanku. Apapun yang Ayah pegang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Mulai dari gitar bassnya, piano, atau bahkan bunga-bunga hias hasil mengolah bibit.
Kekhilafan Ayah di waktu yang lalu memang membuatku hancur. Memicu kesal, benci, juga kecewa. Kepercayaan ku tentang cinta yang digadang-gadang suci dan abadi hancur lebur. Bagaimana mungkin aku bisa dengan mudah mempercayai laki-laki saat satu-satunya laki-laki di dunia yang paling ku cintai, ku percaya, dan ku hormati saja sanggup membuatku begitu kecewa. Berangkat dari periode memilukan itu, aku tumbuh menjadi gadis yang dingin, arogan, perfeksionis, dan melukai beberapa lawan jenis sebagai pelampiasan kemarahan terhadap pengkhianatan yang sulit ku terima saat itu. Sampai akhirnya aku bertemu Aldi, yang dia sadari atau tidak, perlahan meneduhkan halamanku yang panas dan gersang, juga memberi banyak pemahaman tentang hati dan keikhlasan.
Kesakitan itu memang pernah terjadi, tapi dulu, sebelum aku memahami ketidaksempurnaan. Karena bagaimanapun, cinta akan selalu memaafkan. No body's perfect kan Yah?. Ayah, Ibu, dan aku hanya manusia yang tak luput dari khilaf dan keliru. Tapi Ayah tetap yang terbaik, yang mau menerima jutaan kelemahan dan keburukanku.
Aku ingat kisah saat Ayah muda dulu pernah tinggal di pedalaman Sumatera. Hutan tropis yang lebat dan suku adat lekat dengan kehidupan Ayah. Dan satu ingatan yang juga masih terekam baik dari cerita-cerita selama tinggal disana adalah (pernah) saat Ayah sedang bercengkerama dengan warga lokal, Ayah mengira duduk di atas batang pohon yang ternyata itu adalah ular besar. Mengerikan tapi lucu. Syukurlah Tuhan masih memberi hidup untukmu. Bila tidak, mungkin aku tidak pernah terlahir ke dunia ini.
Berkaca dari pengalaman itu, Ayah jelas menolak permohonanku saat aku meminta izin untuk pergi dan tinggal di pedalaman Maluku Tenggara selama beberapa bulan. Tapi Ayah sangat bijaksana, mau mendengar penjelasan, dan akhirnya memberi kebebasan untuk memilih pilihanku. Tentu dengan memberi banyak wejangan yang ku ingat setiap hari selama disana.
Ayah tahu apa perasaanku saat berada di atas kapal besar itu? berlayar dengan linangan air mata. Yang sebenarnya terjadi adalah karena takut mati di tengah laut, takut Ayah merasa kehilangan dan hancur. Pikiran-pikiran sadis itu terus berkemelut sepanjang pelayaran. Sesekali hilang, mencoba menikmati alunan ombak laut banda yang terkenal misterius dengan kedalaman palungnya yang mencapai lebih dari 7000 meter. Aku membayangkan seandainya Ayah ikut serta pasti tidak ada kekhawatiran berlebih, yang ada hanya menikmati hamparan laut tanpa batas di geladak atas sambil menghisap rokok dan kopi kesukaan Ayah.
Berkat doa Ayah, aku selamat hingga kembali beberapa bulan kemudian dan membawa segudang pengalaman hidup yang siap ku bagikan kepada anak dan cucuku. Menjadi bahan cerita menjelang tidur mereka yang bukan hanya dongeng belaka. Seperti yang Ayah lakukan.
Ingat saat kecil dulu, aku merengek minta jalan-jalan ke pusat perbelanjaan di kota. Karena tidak punya uang lebih saat itu, Ayah membujukku agar kita hanya pergi berdua saja untuk menghemat ongkos angkutan umum. Saat itu Ayah juga belum punya kendaraan yang layak. Ayah ingat, saat perjalanan pulang dari kota ke Tanjung kemudian ke desa, Ayah memangku ku sepanjang perjalanan dalam angkutan mini berwarna kuning yang super sumpek. Bau keringat orang tercium menyengat, tak terkecuali bau keringat kita hehe. Semua bercampur menjadi aroma antah berantah. Aku yang kelelahan, terpejam dipangkuan Ayah. Tapi taukah, bahwa saat itu aku tidak benar-benar tidur. Aku mendengar percakapan Ayah dengan penumpang lain, termasuk saat Ayah bercerita dengan nada bangga tentang prestasiku di sekolah. Untuk yang satu ini, tentu bukan dalam rangka menyombongkan diri. Ini adalah ungkapan yang wajar dari seorang Ayah yang bahagia atas capaian anaknya. Saat itu aku hanya pura-pura tidur. Aku menangis dalam pangkuan Ayah karena menyesal telah merepotkan, memaksa panas-panasan, duduk desak-desakan dengan penumpang lain, dan menempuh perjalanan berjam-jam hanya untuk menuruti keinginanku "jalan-jalan ke pusat perbelanjaan" (Dulu, keberadaan mall tidak semarak sekarang. Saat aku kecil Mall terdekat hanya ada di kota seberang yang jarak tempuh dari desa bisa sampai 2,5 jam, itu pun kalau angkutan tidak ngetem (menunggu tempat duduk penuh), kebayang kan berapa lama perjalanan kalau tiap pindah angkutan harus ngetem. Dari desa ke tempat tujuan, aku harus ganti jurusan angkutan hingga 3 kali). Aku menangis karena menyesal telah membuang-buang uang Ayah. Dan aku menangis karena terharu Ayah sangat sayang padaku, anak wedok semata wayang (saat itu usiaku 7 tahun dan adikku belum lahir). Ayah mengelus jenongku, dan mengelap keringat yang jatuh berkali-kali di pelipisku. Itu adalah saat yang sangat romantis, hanya kita berdua, aku dan Ayah.
Ayah, hari demi hari terus berganti. Hari ini usiaku sudah mencapai hampir seperempat abad. Aku telah lulus dari perguruan tinggi tersohor di negeri kita dan akhirnya bekerja juga di universitas tersebut. Tuntas sudah satu mimpi kita. Ayah telah sukses menjadikanku seorang perempuan yang berdiri karena kedua kaki sendiri. Apa yang aku nikmati saat ini adalah berkat keringat Ayah. Aku tidak akan pernah bisa membalas semua kebaikan yang pernah Ayah berikan untukku, tidak akan mungkin.
Ayah, waktu begitu cepat berlalu. Anakmu ini sedikit demi sedikit mulai menapaki kedewasaan. Keriput-keriput di wajah Ayah pun semakin tegas terlihat. Maafkan aku belum bisa menjawab pertanyaan dan memenuhi harapan Ayah soal pernikahan. Mari kita bersabar dalam iman sambil menunggu yang terbaik Tuhan peruntukkan untukku dan untuk keluarga kita.
Oh ya soal Miyake, terima kasih Ayah sudah mengirimnya untuk menemani hari-hariku. Miyake penurut, setia, dan tidak merepotkan walaupun sangat jarang ku perhatikan. Dia juga menjadi saksi kemana saja kaki ini melangkah selama 7 tahun belakangan. Miyake selalu menemani dan melihat bagaimana aku berjuang di tanah rantau. Beberapa kali kami jatuh, tapi Tuhan selalu memberikan pertolongan dan menyelamatkan kami. Artinya kami tidak terluka parah, hanya goresan-goresan kecil saja. Terkadang kami melewati hari yang berat, tapi seringkali juga melewati hari yang begitu ringan. Kami menikmati karena itu yang membuat hari-hari kami tidak monoton. Aku pernah berfikir untuk menjualnya kemudian menggantinya dengan yang baru, tapi berat hati. Aku sangat sayang padanya, biar kata mereka bilang Miyake sudah tidak menarik tapi bagiku dia tetap istimewa. Sekali lagi, terima kasih Ayah.
Dari Ananda yang sedang sangat rindu di pangkuan Ayah.Kekhilafan Ayah di waktu yang lalu memang membuatku hancur. Memicu kesal, benci, juga kecewa. Kepercayaan ku tentang cinta yang digadang-gadang suci dan abadi hancur lebur. Bagaimana mungkin aku bisa dengan mudah mempercayai laki-laki saat satu-satunya laki-laki di dunia yang paling ku cintai, ku percaya, dan ku hormati saja sanggup membuatku begitu kecewa. Berangkat dari periode memilukan itu, aku tumbuh menjadi gadis yang dingin, arogan, perfeksionis, dan melukai beberapa lawan jenis sebagai pelampiasan kemarahan terhadap pengkhianatan yang sulit ku terima saat itu. Sampai akhirnya aku bertemu Aldi, yang dia sadari atau tidak, perlahan meneduhkan halamanku yang panas dan gersang, juga memberi banyak pemahaman tentang hati dan keikhlasan.
Kesakitan itu memang pernah terjadi, tapi dulu, sebelum aku memahami ketidaksempurnaan. Karena bagaimanapun, cinta akan selalu memaafkan. No body's perfect kan Yah?. Ayah, Ibu, dan aku hanya manusia yang tak luput dari khilaf dan keliru. Tapi Ayah tetap yang terbaik, yang mau menerima jutaan kelemahan dan keburukanku.
Aku ingat kisah saat Ayah muda dulu pernah tinggal di pedalaman Sumatera. Hutan tropis yang lebat dan suku adat lekat dengan kehidupan Ayah. Dan satu ingatan yang juga masih terekam baik dari cerita-cerita selama tinggal disana adalah (pernah) saat Ayah sedang bercengkerama dengan warga lokal, Ayah mengira duduk di atas batang pohon yang ternyata itu adalah ular besar. Mengerikan tapi lucu. Syukurlah Tuhan masih memberi hidup untukmu. Bila tidak, mungkin aku tidak pernah terlahir ke dunia ini.
Berkaca dari pengalaman itu, Ayah jelas menolak permohonanku saat aku meminta izin untuk pergi dan tinggal di pedalaman Maluku Tenggara selama beberapa bulan. Tapi Ayah sangat bijaksana, mau mendengar penjelasan, dan akhirnya memberi kebebasan untuk memilih pilihanku. Tentu dengan memberi banyak wejangan yang ku ingat setiap hari selama disana.
Ayah tahu apa perasaanku saat berada di atas kapal besar itu? berlayar dengan linangan air mata. Yang sebenarnya terjadi adalah karena takut mati di tengah laut, takut Ayah merasa kehilangan dan hancur. Pikiran-pikiran sadis itu terus berkemelut sepanjang pelayaran. Sesekali hilang, mencoba menikmati alunan ombak laut banda yang terkenal misterius dengan kedalaman palungnya yang mencapai lebih dari 7000 meter. Aku membayangkan seandainya Ayah ikut serta pasti tidak ada kekhawatiran berlebih, yang ada hanya menikmati hamparan laut tanpa batas di geladak atas sambil menghisap rokok dan kopi kesukaan Ayah.
Berkat doa Ayah, aku selamat hingga kembali beberapa bulan kemudian dan membawa segudang pengalaman hidup yang siap ku bagikan kepada anak dan cucuku. Menjadi bahan cerita menjelang tidur mereka yang bukan hanya dongeng belaka. Seperti yang Ayah lakukan.
Ingat saat kecil dulu, aku merengek minta jalan-jalan ke pusat perbelanjaan di kota. Karena tidak punya uang lebih saat itu, Ayah membujukku agar kita hanya pergi berdua saja untuk menghemat ongkos angkutan umum. Saat itu Ayah juga belum punya kendaraan yang layak. Ayah ingat, saat perjalanan pulang dari kota ke Tanjung kemudian ke desa, Ayah memangku ku sepanjang perjalanan dalam angkutan mini berwarna kuning yang super sumpek. Bau keringat orang tercium menyengat, tak terkecuali bau keringat kita hehe. Semua bercampur menjadi aroma antah berantah. Aku yang kelelahan, terpejam dipangkuan Ayah. Tapi taukah, bahwa saat itu aku tidak benar-benar tidur. Aku mendengar percakapan Ayah dengan penumpang lain, termasuk saat Ayah bercerita dengan nada bangga tentang prestasiku di sekolah. Untuk yang satu ini, tentu bukan dalam rangka menyombongkan diri. Ini adalah ungkapan yang wajar dari seorang Ayah yang bahagia atas capaian anaknya. Saat itu aku hanya pura-pura tidur. Aku menangis dalam pangkuan Ayah karena menyesal telah merepotkan, memaksa panas-panasan, duduk desak-desakan dengan penumpang lain, dan menempuh perjalanan berjam-jam hanya untuk menuruti keinginanku "jalan-jalan ke pusat perbelanjaan" (Dulu, keberadaan mall tidak semarak sekarang. Saat aku kecil Mall terdekat hanya ada di kota seberang yang jarak tempuh dari desa bisa sampai 2,5 jam, itu pun kalau angkutan tidak ngetem (menunggu tempat duduk penuh), kebayang kan berapa lama perjalanan kalau tiap pindah angkutan harus ngetem. Dari desa ke tempat tujuan, aku harus ganti jurusan angkutan hingga 3 kali). Aku menangis karena menyesal telah membuang-buang uang Ayah. Dan aku menangis karena terharu Ayah sangat sayang padaku, anak wedok semata wayang (saat itu usiaku 7 tahun dan adikku belum lahir). Ayah mengelus jenongku, dan mengelap keringat yang jatuh berkali-kali di pelipisku. Itu adalah saat yang sangat romantis, hanya kita berdua, aku dan Ayah.
Ayah, hari demi hari terus berganti. Hari ini usiaku sudah mencapai hampir seperempat abad. Aku telah lulus dari perguruan tinggi tersohor di negeri kita dan akhirnya bekerja juga di universitas tersebut. Tuntas sudah satu mimpi kita. Ayah telah sukses menjadikanku seorang perempuan yang berdiri karena kedua kaki sendiri. Apa yang aku nikmati saat ini adalah berkat keringat Ayah. Aku tidak akan pernah bisa membalas semua kebaikan yang pernah Ayah berikan untukku, tidak akan mungkin.
Ayah, waktu begitu cepat berlalu. Anakmu ini sedikit demi sedikit mulai menapaki kedewasaan. Keriput-keriput di wajah Ayah pun semakin tegas terlihat. Maafkan aku belum bisa menjawab pertanyaan dan memenuhi harapan Ayah soal pernikahan. Mari kita bersabar dalam iman sambil menunggu yang terbaik Tuhan peruntukkan untukku dan untuk keluarga kita.
Oh ya soal Miyake, terima kasih Ayah sudah mengirimnya untuk menemani hari-hariku. Miyake penurut, setia, dan tidak merepotkan walaupun sangat jarang ku perhatikan. Dia juga menjadi saksi kemana saja kaki ini melangkah selama 7 tahun belakangan. Miyake selalu menemani dan melihat bagaimana aku berjuang di tanah rantau. Beberapa kali kami jatuh, tapi Tuhan selalu memberikan pertolongan dan menyelamatkan kami. Artinya kami tidak terluka parah, hanya goresan-goresan kecil saja. Terkadang kami melewati hari yang berat, tapi seringkali juga melewati hari yang begitu ringan. Kami menikmati karena itu yang membuat hari-hari kami tidak monoton. Aku pernah berfikir untuk menjualnya kemudian menggantinya dengan yang baru, tapi berat hati. Aku sangat sayang padanya, biar kata mereka bilang Miyake sudah tidak menarik tapi bagiku dia tetap istimewa. Sekali lagi, terima kasih Ayah.
Semoga Tuhan selalu memberikan kesehatan dan melindungi Ayah dimanapun berada.
Yogyakarta, 21 April 2017.
Comments
Post a Comment