Sore Yang Ringan
Aku duduk di balkon mencoba menikmati angin sore yang sayangnya sedikit tercemari aroma vapoor dari caffe sebelah rumah. Ditemani kisah Adelfo dan Abbey dari perbatasan Jerman Timur dan Polandia yang belum juga habis ku baca, sambil menunggu Mas Rifky yang katanya sudah dalam perjalanan menuju rumahku.
Dia ke rumah bukan untuk melakukan ritual khusus. Bukan untuk memetik senar gitar lalu berdendang if hold on together-nya Diana Ross apalagi castle on the hill-nya Ed Sheeran. "Hanya ingin datang saja, karena aku tahu kamu sedang butuh teman sore ini", begitu katanya dengan segala ilmu kesotoyannya (tapi emang selalu bener, ngga ngerti deh tuh orang makan apa kaya bisa rogo sukmo gitu). Kadang-kadang tamu datang tanpa diundang memang, menariknya di waktu yang tepat.
Sama seperti sebelum-sebelumnya, ku buatkan coklat hangat, ngobrol sebentar lalu pergi cari makan di luar. Tidak banyak yang kami ceritakan dalam perjalanan menuju ring road. Hanya 1 atau 2 cerita ringan yang ala kadarnya. Selebihnya hanya menerawang jauh melalui kaca mobil, berkemelut dengan isi pikiran masing-masing.
Lalu hening sambil menikmati makanan dan minuman di sebuah rumah makan. Sesekali saling tatap tanpa kode dan kelakar. Dalam proses makan memakan, aku selalu kalah cepat darinya. Jadi seperti biasa, yang dia lakukan hanya bantu menghabiskan makananku. Dan entahlah selalu ada perasaan haru yang ku nikmati tiap detiknya saat melihat teman mau menghabiskan makananku. Dan (lagi) yang lebih mengharukan adalah saat aku sadar bahwa sebagai seorang teman yang rela mewakafkan waktunya untuk menemani kerandoman, melirihkan kebisingan, dan meneduhkan keterikan, Mas Rifky adalah rizki untukku.
Dalam perjalanan pulang, ada kalimatnya yang membuat sekelebatan tiba-tiba ku rasa de javu. Runtutan, vibes, atau apalah sebutannya, seperti pernah terjadi. Ya benar, dengan Mas Galih beberapa waktu lalu. Menjemput ke rumah, pergi makan, obrolan basi dalam mobil sambil menikmati traffic jam, duduk, jalan, duduk lagi, jalan lagi, hingga mengantar kembali ke rumah. Itu saja, tidak ada yang begitu istimewa.
Tapi bukankah kita tahu bahwa nilai keistimewaan bukan karena ngapain, dimana, dan bagaimana, tetapi dengan siapa. Ketika ada yang datang dan menemani saat kita dalam keadaan *gabut, dan ternyata yang menemani bisa menjadikan sore lebih teduh, disitu nikmatnya waktu benar-benar terasa. Sesederhana itukah? Ya, memang bahagia itu sederhana. Persis seperti yang sering kalian katakan. Kita saja yang kadang membuatnya menjadi sulit dan rumit. Berdalih mencari-cari kebahagiaan, padahal sumber bahagia itu sudah ada pada diri sendiri. Bukan lagi di depan mata, bahkan telah ada di dalam hati.
Terlepas dari soal de javu, yang ku tahu, dalam perjalanan seseorang mungkin bertemu titik riuh. Dia perlu berhenti sejenak untuk sekedar melewati sore yang ringan bersama seorang teman yang bisa membuat sore semakin teduh. Tidak perlu banyak omong, tidak dipatahkan optimismenya, tidak diceramahi, dan tidak dicurigai. Cukup dengan diberikan pundak atau genggaman tangan, lalu diam menikmati waktu. Karena terkadang kita benar-benar hanya butuh untuk ditemani. Seperti yang Mas Galih pernah katakan, aku sepakat tanpa tapi sedikitpun.
Sore yang ringan seperti ini mudah saja terjadi. Ditemani, bersama menikmati waktu. Bagi sebagian orang dengan menenggak bir, wine, atau sejenisnya akan membuat waktu menjadi semakin nikmat. Bagi sebagian lain mungkin cukup dengan segelas kopi, teh, atau cokelat hangat, di sudut balkon. Apapun pelengkapnya, cara menikmati itu dari hati.
Dan aku, selalu merindukan sore yang ringan.
Comments
Post a Comment