Yang Terlewatkan

Dia datang membawa harapan, berniat baik membantuku sembuh dari kecewa berkepanjangan terhadap seorang yang hijrah ke Belanda. Menjemputku, mengantarku, menemaniku makan, pergi kesana pergi kesitu, hujan-hujanan, liburan, melakukan ini dan itu, ngobrol tidak penting hingga yang serius, duduk manis menungguku setiap sore, dan semuanya. Semua yang pernah dilakukan akhirnya mencuri perhatian.

Aku tidak mungkin merasa nyaman berjalan menghadapi hari-hari dengan orang yang tidak ku sukai karena pasti merasa risih. Dia benar, karena aku mengalami itu dengan yang lain. Tapi dengannya, aku merasa nyaman, tidak ada masalah yang berarti. 

Waktu terus berjalan, dan aku masih ingin melihat usahanya. Seberapa besar perasaanya padaku dan seberapa komitnya dia atas semua yang pernah dikatakannya padaku. Bagiku yang pernah mempunyai kisah pahit, tentu tidak mudah menerima hati yang baru begitu saja. Pengalaman mengajariku segalanya, aku benar-benar menjadi lebih selektif karena tidak ingin merasakan kepahitan yang sama. 

Tapi sepertinya dia tidak mengerti bahwa sikapku tidak lain hanya karena ingin melihat kesungguhannya. Dia justru merasa diabaikan atau mungkin dipermainkan olehku. Padahal sedikitpun tak pernah terbesit olehku untuk melakukan apa yang pernah ia tuduhkan itu. Tapi mungkin tanpa sadar sikapku keterlaluan hingga dia benar-benar terluka. Terlalu lama kami berspekulasi dengan point of view masing-masing, akhirnya dia bosan, menggerutukiku, dan memilih beranjak ke hati yang lain. Mungkin.

Mulanya aku kesal, sedih, dan marah melihat apa yang dia lakukan kini tidak sesuai dengan semua yang pernah ia katakan. Aku berpikir ternyata hatinya untukku hanya sedangkal itu. Tapi keliru dan salah besar jika aku sulit menerima dan menyalahkan sikapnya. Karena justru akulah yang membuatnya jadi seperti ini. Semua yang terjadi hingga detik ini adalah murni karena kesalahanku sendiri. 

Seharusnya aku tidak berlarut-larut dan menjadikan kisah yang kurang mengenakan dengan seorang di Belanda sana menjadi alasan untuk meragukannya. Aku pengecut yang ulung, hanya karena takut kembali ditinggalkan orang lain lalu aku merampas haknya untuk mendapatkan hatiku. Aku terlalu berambisi, memaksa orang lain untuk memahamiku, egois, dan angkuh mengingkari kata hati.

Sekarang setelah semuanya berubah, aku lantang menyadari bahwa aku juga menyukai dan menyayanginya. Tetapi semua sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur. Dan keterlambatanku untuk menyadari itu akhirnya membuat dia dan aku sama-sama terluka. 

Belum sepenuhnya sembuh luka yang lama, sudah ketambahan luka baru. Parahnya, kedua luka itu adalah atas ulahku sendiri. Hingga yang ku rasakan sakitnya menjadi berlipat-lipat. 

Sekarang setelah semuanya berubah, tidak banyak yang bisa ku lakukan selain meminta ampunan. Terserah Tuhan hendak membawaku kemana. Tugasku menata hati, ikhlas karena semua yang pernah terjadi adalah pembelajaran.

Comments

Popular posts from this blog

Review Laser CO2 (Tahi Lalat)

Review Diamond Peel Treatment

Pengalaman Saya di Rekrutmen Nestle Indonesia