Jumat Sore di Alamanda : Pengalih Demam
Aku hampir tidak pernah bisa sendiri dalam keadaan demam. Bukan apa,
tapi dalam keadaan seperti itu psikis rentan terganggu, yang kalau dibiarkan tentu
akan memperparah kondisi fisik. Sebab itu, aku selalu mencari perhatian sebagai
pengalih rasa sakit supaya bisa stay strong. Biasanya
ku panggil teman-teman untuk bertandang ke rumah sebagai
pengganti Ayah dan Ibu yang tinggal di kampung. Bagi kami para
perantau, teman-teman adalah keluarga. Mereka yang siap di garda depan kapanpun
kita butuhkan (semoga
selalu seperti ini). Seringkali aku tidak butuh Ibuproven, Paracetamol atau sejenisnya,
dan tidak juga mereka yang hanya sok
perhatian. Cukup air
putih dan pelukan mereka yang
tulus untuk bikin aku feeling better, bukan kepura-puraan (eh kok jadi ngelantur).
Malam ini aku tumbang lagi. Sudah 2 hari memang badan ku
rasa tidak enak. Dan sedih bukan main saat menyadari ternyata malam ini aku sendirian,
tidak bisa tidur, tidak ada
teman sharing, demam tak kunjung membaik, dingin, dan sepi. Terdengar berlebihan ya?.Oke oke cukup, mari sudahi keluhan yang amat sangat
tidak penting ini!.
Begini
saja, dari pada tengah malam uring-uringan tak jelas,
lebih baik aku cerita sesuatu saja. Tolong kawan siapapun kalian yang ada
disitu, temani aku malam ini. Kalian cukup
dengarkan saja ceritaku.
Jadi hari Kamis yang lalu Mas Yudha meneleponku. Dia
memintaku untuk presentasi konsep monitoring project, menggantikannya yang terpaksa
tidak bisa ikut forum akibat harus asistensi
mahasiswanya. Pertemuan diselenggarakan hari Jumat sore pukul 16.00 WIB. Waktu
tersebut adalah atas usul darinya di forum terakhir awal November lalu.
Seharusnya sudah teragendakan dengan baik. Artinya tidak ada alasan baginya
untuk tiba-tiba cancel atau tidak bisa hadir. Jika dia beralasan asistensi
mahasiswanya adalah pekerjaan utama yang tidak bisa ditinggalkan, lalu apa kabar
denganku? Dia punya pekerjaan utama di sebuah universitas? sama, aku pun
demikian. Setiap hari Jumat jam kantorku sampai pukul 16.30, jadi bagaimana mungkin aku memenuhi permintaanya untuk datang ke Alamanda pukul
15.00?. Aku tidak mungkin meninggalkan kantor untuk urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kantor. Kelihatannya ini masalah sepele tapi bisa runyam urusan
jika tidak direncanakan dengan baik. Presentasi itu bukan hal yang mudah
apalagi untuk materi yang menyangkut kepentingan banyak pihak. Ah, telepon Mas
Yudha siang bolong itu sungguh sangat menghancurkan mood ku.
Celakanya aku tidak bisa menolak karena permintaan Mas
Yudha sudah atas persetujuan Pak Pur-Kepala project studi lingkungan ini. Ya
sudah, ku sanggupi permintaanya walau dengan sedikit keraguan.
Berhasil atau tidak urusan belakang, yang penting mencoba saja dulu. Lagi
pula sedari awal aku sudah berkomitmen
saat kali pertama aku menyatakan kesediaan untuk membantu Mas Yudha di project
ini. Artinya meski hanya sebagai additional player, aku harus siap melaksanakan
tanggung jawab penuh sebagai team work. Barangkali ini sebuah kepercayaan yang
akan menjadi a great opportunity
untukku. Semoga kedepannya aku tidak keteteran. Jika itu
terjadi maka murni karena kesalahanku yang nekat
terlibat dalam 2 pekerjaan.
Diam-diam aku menelepon Mas Rifky-Coordinator acara yang
berkewenangan menyusun rundown. Aku mengajukan permohonan agar presentasiku
tidak diletakkan di sesi-sesi awal mengingat pasti akan datang terlambat lebih
dari 30 menit. Untunglah Mas Rifky mau berbaik hati padaku. Merayu laki-laki
memang lebih mudah. Mission has completed.
Aku punya waktu satu malam untuk menyiapkan materi
presentasi. Kamis sore setelah pulang kantor aku ngibrit ke Fakultas Teknik menemui
Mas Yudha untuk berdiskusi. Benar saja dugaanku, memang Mas Yudha teramat
sibuk. Pukul 17.30 sampai di kantornya, ku lihat dia masih sibuk dengan beberapa mahasiswanya. Lepas Isya kami memutuskan untuk
pindah ke sebuah cafe agar diskusi lebih nyaman. Percayalah suasana kampus tua di
malam hari itu sangat tidak enak J.
Jumat pukul 16.50 aku sampai di Alamanda. Tepat sesuai
perkiraan, aku terlambat 50 menit. Pak Binsar, Pak Pur, Mba Tia, Mba Gina, Mas
Rifky, Mas Gilang dan beberapa anggota tim sudah duduk manis di ruangan. Tapi
acara belum mulai, mereka masih asik beramah-tamah. Ku salami penghuni Alamanda
satu persatu sore itu, tidak lupa ku sampaikan permohonan maaf atas
keterlambatanku.
Presentasi belum bisa kita mulai karena masih menunggu Bu
Sasti yang menurut informasi sudah dalam perjalanan menuju Alamanda. Di
sela-sela waktu menunggu, Pak Binsar menyampaikan informasi bahwa sore ini kita
kedatangan tamu yang akan menjadi auditor untuk tim SL-Sorong dan SL-Kupang.
Secara tidak kebetulan aku tergabung dalam tim SL-Sorong. Baiklah, intinya aku
akan mendapat auditor baru. Selang beberapa menit Pak Binsar ngeloyor keluar
ruangan sambil sibuk menatap layar ponselnya. Tidak lama beliau kembali masuk
ke ruangan diikuti seseorang bertubuh jangkung dengan ransel dipunggungnya. Aku
ternganga-nganga, tenggorokanku kering seketika. Sulit ku percaya melihat siapa
yang datang sore ini.
Pak Binsar mempersilakan orang itu untuk duduk kemudian
memperkenalkannya pada kami. “Teman-teman mohon perhatian sebentar, sesuai
dengan apa yang telah saya sampaikan di awal tadi bahwa sore ini kita kedatangan auditor baru. Dan perkenalkan ini
Pak Aldi, beliau baru saja menyelesaikan studinya di Maastricht University”.
Demikian pengantar dari Pak Binsar yang singkat dan mencengangkan.
Selang beberapa menit Bu Sasti datang. Aku memulai
presentasi dengan penuh harap, semoga apa yang baru saja terjadi tidak mengacaukan
isi otakku. Sejujurnya aku nervous, presentasi yang tidak disiapkan dengan matang itu sama
dengan bunuh diri. Hampir 10 bulan aku tidak pernah lagi presentasi resmi untuk
satu materi serius, itu pertama. Kedua, ternyata aku harus presentasi langsung di
hadapan Pak Binsar dan Bu Sasti, punggawa NGO
ini yang bukan main supernya. Ketiga, tiba-tiba seseorang
datang sebagai auditorku, yang tentu saja dia akan memperhatikan presentasiku
dengan seksama.
“Oke lads, show must go on!!!”, pekikku lantang dalam
hati, berharap ada seseorang menyuntikan serum Andi Arsana di ubun-ubunku detik
itu juga. Baru sampai di kalimat pembuka, penaku lompat ke lantai, oh wan
sulitnya menyembunyikan kegugupan. Dalam keadaan seperti ini aku hanya perlu
membuat suasana lebih tenang. Saat aku tegang dan terlalu serius maka
atmosphere ruang automatically akan jadi mistis. “Just inhale and exhale
lads!!!”. Ku sampaikan saja beberapa kalimat lelucon di awal presentasi untuk intermezzo.
Mereka tertawa dan aku merasa lebih baik.
Presentasi berjalan lancar, tidak banyak pertanyaan,
sanggahan, ataupun kritik dari audiens. Sesi diskusi hanya didominasi oleh
masukan-masukan dari Pak Binsar dan Bu Sasti. Pernyataan menggelitik justru
datang dari Mas Fuad, Koorlap SL Kupang. Statementnya sedikit menyudutkan tim
kami. Aku merasa kewalahan menanggapinya mengingat data listing yang ia
persoalkan adalah Mas Yudha yang pegang kendali. Untunglah dari tim kami ada
Mba Tia dan Mas Gilang yang membantuku penuh.
Presentasi dan diskusi
selesai. Empat puluh lima menit yang ku rasa cukup panjang, saatnya rehat. Aku
dan Mas Gilang meluncur menuju common room. Saat sedang menikmati coffe break,
tiba-tiba Pak Binsar dan auditor baru menghampiri kami.
“Mba Lilis, Mas Gilang,
boleh kami gabung?” Pak Binsar menyela pembicaraan kami.
“Monggo Bapak, silakan
duduk” sahut kami kompak.
“Presentasi yang menarik
Mba Lilis, selamat ya!”, kalimat sederhana beliau yang percaya atau tidak, mampu
menggugah kepercayaan diri.
“Oh ya Mba Lilis dan Mas Gilang, saya kenalkan
secara personal ya, ini Pak Aldi yang akan mendampingi dan memantau tim SL
Sorong selama project berjalan. Beberapa waktu ke depan beliau juga yang akan
kami tugasi ke Sorong untuk mengunjungi teman-teman di lapangan. Jadi silakan
bertukar kontak dan alamat rumah barangkali”, celetuk Pak Binsar yang terdengar
garing.
“Pak Binsar, Mba Lilis ini teman saya. Saya sudah
mengenalnya secara pribadi sejak 6 tahun lalu. Jadi sejujurnya saya juga kaget
kita bisa bertemu disini”, senyum khasnya terlempar. Aku tersedak mendengar
penuturannya. Sesaat Pak Binsar dan Mas Gilang terlihat kaget, menatap kami
awkward sebelum akhirnya umpatan mereka pecah.
Sungguh ini bukan suatu kebetulan. Setelah tiba-tiba
hilang, 2,5 tahun kemudian muncul di hadapan dengan cara seperti ini. Skenario
Tuhan, siapa yang tahu? sampai bumi ini runtuhpun, kita yang lemah tidak akan pernah
mampu mendiktenya.
Bagaimanapun, melihatnya seperti sekarang ini aku ikut bahagia.
Semua lelah dan keringatnya telah terbayar. Aku yang tertinggal jauh dibelakang
akhirnya belajar bahwa ambisi tanpa kesungguhan untuk beraksi itu nothing. Aku
keliru telah menilainya negatif sebagai orang yang ambisius. Ambisi dan
ambisius memang 2 hal yang bersinggungan. Ambisi adalah kata benda dan ambisius
adalah kata sifat. Kata sifat biasanya memiliki sisi positif dan negatif. Itu
berarti ada seseorang dengan sifat ambisius negatif yang cenderung egois, menghalalkan
segala cara demi tujuannya, dan tidak peduli even dia menginjak kepala orang
lain. Sebaliknya, ambisius positif adalah sifat seseorang yang mampu
mengendalikan ambisinya dengan baik. Dan apa yang dia lakukan selama ini adalah
mengelola ambisi untuk menjadi bahan bakar kendaraannya. It’s a good thing
karena ambisi adalah sumber kekuatan yang memang seharusnya mempengaruhi sikap
dan mental positif pada diri seseorang.
Taukah siapa auditor baru bernama Aldi itu?. Dia adalah
kisah lamaku yang terkubur paksa. Kawan, yang terjadi padaku
hari ini juga telah dialami oleh banyak orang lain. Mungkin sebentar lagi akan
terjadi padamu 2, 3, atau 4 tahun lagi. Lupakan apa yang tak pernah ternilai
darimu dimatanya. Berbesar hatilah jika kau pernah merasa terabaikan,
barangkali dia tidak bermaksud demikian. Barangkali tanpa sadar justru kau yang
pernah menyakitinya. Seseorang di masa lalu sangat mungkin hadir di masa depanmu. Bersiaplah
agar jika itu benar-benar terjadi, kau pun dalam keadaan baik.
Oke sampai disini dulu cerita malamku. Danke lai sudah
menemani sampai tengah malam. Selamat istirahat.
Tuesday, November 29th 2016 / 02.10 a.m.
Comments
Post a Comment