Gunung Pertamaku
Malam tadi aku menggigil dan tidurku tidur ayam. Sejuk bukan lagi menjadi ungkapan yang tepat untuk mendeskripsikan udara disini. Dingin yang menyusup hingga ke tulang mengurungkan niatku untuk menyambut fajar di puncak Merbabu.
Pagi 9 November 2013. Segelas teh panas menemani obrolan pagi
kami. Sarapan pagi dengan nasi putih, oseng tahu, dan telur dadar. Makanan itu kami
dapatkan dari sang empunya basecamp. Setelah sarapan, kami secara
bergilir melakukan ritual pagi seperti buang air untuk jaga-jaga agar tidak
merepotkan kalau-kalau kebelet di tengah hutan. Aku yang setiap pagi selalu
melakukan ritual itu dengan entengnya melangkahkan kaki keluar basecamp menuju
toilet umum yang tersedia disekitar pemukiman di kaki gunung. Brrrrr airnya luar biasa dingin.
Tanganku nyaris mati rasa menyentuh air itu. Sabun cuci muka dan pasta gigiku pun beku. Kamu pasti bisa bayangkan bagaimana dinginnya tempat itu.
Finally, pendakian yang sesungguhnya kami
mulai pada pukul 09.10 pagi waktu Indonesia bagian barat. Tentu saja bermodalkan keteguhan
hati dan doa. Perjalanan yang sesungguhnya akan aku tempuh sebagaimana selama
ini aku telah mencoba memvisualisasikannya ditengah hiruk pikuk kehidupan kota.
Mendaki, istirahat, mendaki, istirahat, begitu seterusnya melawan gravitasi bumi. Pukul 14.24 WIB
kami sampai di pos 2 tempat tujuan dimana kami akan mendirikan tenda dan
bermalam sebelum paginya akan melanjutkan pendakian menuju puncak.
Sebagian dari kami memasak dengan bahan
dan alat seadanya, sebagian lagi mendirikan tenda. Di pos 2 tempat dimana kami
akan bermalam bukan hanya ada tim kami tetapi ada juga beberapa tim dari komunitas dan daerah di luar jogja,
seperti Bandung, Magelang, dan Purwokerto. Pendakian masal dari mahasiswa teknik mesin universitas gadjah mada
angkatan 2010 yang berjumlah 40 orang menambah keramaian di pos 2. Sang empunya basecamp mengatakan bahwa Merbabu
weekend ini memang sedang dikunjungi banyak pendaki. Mungkin salah satu
alasannya karena bertepatan dengan hari pahlawan nasional yang jatuh pada
tanggal 10 November. Tentu berbeda dengan aku yang melakukan pendakian ini
semata-mata karena ingin lebih menyelami persahabatan antara aku dan alam, sang
elok ciptaan Allah.
Kami sempat kehilangan salah satu logistik
paling berharga yang kami miliki yaitu beras. Setelah melalui pencarian
ternyata beras kami dicuri oleh kera gunung yang memang berkeliaran bebas.
Untunglah masih ada persediaan logistik yang lain.
Pagi hari tanggal 10
November 2013 tepatnya hari pahlawan kami memulai kembali pendakian menuju
puncak setelah bermalam di tenda. Kami mulai mendaki pukul 06.30 pagi. Jalanan
berbatu, tanah setapak nan licin melengkapi indahnya perjalanan kami. Semakin
dekat dengan puncak jalanan semakin setapak dan terjal. Terpaan angin pun kian
hebat. Bukan lagi 450 atau 600 kemiringan kaki menapaki
bumi yang menjulang itu. Sesekali mungkin hingga 900 dan mau tak mau
harus dengan bantuan tangan lain untuk menarik tubuh kita dari posisi
sebelumnya. Meski demikian, aku tetap menikmati perjalanan indah itu.
Pukul 08.30 kami sampai
di satu ketinggian. Para pendaki menamainya puncak “jembatan
setan”. Disini kami mencoba menyesuaikan dengan
kondisi alam yang sedang tidak bersahabat. Angin begitu kencang membuat
tubuh-tubuh kecil ini oleng. Langit terlihat gelap dan puncak merbabu yang
sesungguhnya tertutup awan dan kabut. Kami berunding dibalik batu sambil
berlindung dari terpaan angin yang begitu kencang. Kedua telapak tangan ku
masukkan kedalam saku jaket dan sesekali ku rekatkan ke dada karena udara
begitu menusuk tulang. Ini tempat yang istimewa bagiku. Tempat dimana aku tidak
mampu berdiri tegak, tentu dalam arti yang sesungguhnya. tempat dimana hati dan
pikiran tertegun manakala melihat pemandangan dan pesona alam ciptaan Allah
yang begitu mengagumkan. Tempat dimana aku begitu kecil dimata dunia dan dimata
Allah. Tempat dimana aku merasa teramat malu sebagai manusia yang kadang
takabur sekaligus tempat dimana aku bersyukur atas limpahan kasih dan sayang
Allah yang memberiku kesempatan berada di tempat istimewa itu.
Akhirnya kami memutuskan
untuk tidak melanjutkan pendakian menuju salah satu puncaknya. Meskipun
sebetulnya kami sudah dekat dengan puncak itu. Namun, kami tidak ingin
memaksakan kehendak pribadi yang belum tentu baik. Puncak sedang badai, keadaan
ini sangat tidak memungkinkan. Kami turun kembali menuju pos 2. Munafik memang
jika aku bilang tidak ada sedikit pun kekecewaan. Aku manusia tidak luput dari
suatu rasa yang bernama “kecewa”. Aku menyiasatinya dengan bersyukur telah
melangkah sejauh ini. Puncak bukanlah segalanya. Aku mencoba berpikir jernih.
Mungkin banyak orang atau bahkan para pendaki
bilang puncak adalah tujuan dari mendaki gunung. Tapi aku tidak berpikir
demikian. Kembali kepada tujuan dan motivasi awal aku melakukan pendakian
“first time” yaitu ingin lebih bersahabat dengan alam dan menyaksikan keindahan
pesona alam sebagai bentukan dari ajaibnya tangan Allah. Aku ingin menaklukan
ego, dan menyatukan hati serta pikiran. Puncak adalah bonus, karena yang
menjadi “worth it” bagiku adalah bagaimana perjalaan dan usaha untuk mencapai
puncak tersebut. Dalam perjalanan itulah kita merenungi apa yang patut kita
renungi. Karena setiap tempat adalah sekolah maka perjalanan itu merupakan
proses yang bernilai fantastis bagiku, karena aku belajar darinya. Belajar
tentang hidup, bagaimana mengahadapi, memaknai dan menyelaminya. Like a life
“all about struggle” semua berawal dari perjuangan. Ketika sungguh-sungguh maka
bonus akan kita dapatkan karena Allah telah menjanjikannya. It’s because “first
time” so, Allah ingin aku mendaki gunung yang lain di kesempatan yang lain dan
di waktu yang tepat maka puncak sebagai bonus akan diberikannya padaku. Anyway,
its enough for my “first time” trip to mountain. Terimakasih Allah karena telah
menghendaki aku mendapatkan kesempatan istimewa ini.
Comments
Post a Comment