Senja di 10 Ramadhan
Ramadhan
hari ke-10 tiba di penghujung senja. Entah mengapa sore ini kurasa begitu hening dan sunyi.
Ada sesak di dada. Saat sebagian
besar dari mereka sibuk pergi berburu takjil dan sederet menu buka puasa lainnya,
aku memilih berdiam diri menikmati senja. Aku masih duduk, hingga habis senja sambil
bernostalgia dengan
masa lalu.
Tahun lalu, Ramadhan aku lewati bersama Kak Nuri, Kak Mila, Kak Ana, Satria, Adrian, Aditya, Ilham, Tristan, dan Akbar. Satu bulan penuh kami selalu bersama. Ya. Di pulau terpencil itu, di timur Indonesia. Pulau yang membuatku nyaris kehabisan kata untuk mendeskripsikan keindahannya. Bukan liburan, kami datang untuk mengabdi. Setiap hari kami bersantap sahur bersama. Masak bersama, paling sering tentu saja nasi putih, mie instan, dan tak ketinggalan boncabe yang kubawa dari jawa yang kemudian menjadi andalan kawan-kawan. Setiap hari pula kami berbuka puasa bersama. Selalu ramai, itulah suasana saat hari beranjak petang. Kami bersepuluh selalu sigap menyerbu meja makan rumah pondokan itu. Aku menyebutnya “meja opa mecu”, yang selalu penuh dengan berbagai hidangan hasil olahan tangan mama bibi dan mama lin. Walaupun mereka non muslim, tapi mereka lihai juga membuat kolak dan kudapan khas ramadhan lainnya. Ah, aku sangat merindukan saat-saat itu. Yes, one years ago. Saat dimana kami bersepuluh saling bergilir mangambil jatah piring masing-masing. Saat untuk pertama kalinya kami berbuka puasa dengan papeda dan ikan kuah kuning yang terkenal makanan khas masyarakat timur. Saat dimana kami berdoa bersama dan saat dimana kami berucap “Alhamdulillah”. Sesekali kami berbuka puasa di kediaman Bapak Raja Tetoat yang notabene seorang muslim di pulau seberang. Maklum, muslim disini menjadi kaum minoritas. Kami diangkut dengan perahu menyebrangi teluk yang konon beberapa buaya tinggal di dalamnya. Sesekali juga ke evu desa sebelah, entah karena undangan kepala desa atau hanya undangan warga.
masa lalu.
Tahun lalu, Ramadhan aku lewati bersama Kak Nuri, Kak Mila, Kak Ana, Satria, Adrian, Aditya, Ilham, Tristan, dan Akbar. Satu bulan penuh kami selalu bersama. Ya. Di pulau terpencil itu, di timur Indonesia. Pulau yang membuatku nyaris kehabisan kata untuk mendeskripsikan keindahannya. Bukan liburan, kami datang untuk mengabdi. Setiap hari kami bersantap sahur bersama. Masak bersama, paling sering tentu saja nasi putih, mie instan, dan tak ketinggalan boncabe yang kubawa dari jawa yang kemudian menjadi andalan kawan-kawan. Setiap hari pula kami berbuka puasa bersama. Selalu ramai, itulah suasana saat hari beranjak petang. Kami bersepuluh selalu sigap menyerbu meja makan rumah pondokan itu. Aku menyebutnya “meja opa mecu”, yang selalu penuh dengan berbagai hidangan hasil olahan tangan mama bibi dan mama lin. Walaupun mereka non muslim, tapi mereka lihai juga membuat kolak dan kudapan khas ramadhan lainnya. Ah, aku sangat merindukan saat-saat itu. Yes, one years ago. Saat dimana kami bersepuluh saling bergilir mangambil jatah piring masing-masing. Saat untuk pertama kalinya kami berbuka puasa dengan papeda dan ikan kuah kuning yang terkenal makanan khas masyarakat timur. Saat dimana kami berdoa bersama dan saat dimana kami berucap “Alhamdulillah”. Sesekali kami berbuka puasa di kediaman Bapak Raja Tetoat yang notabene seorang muslim di pulau seberang. Maklum, muslim disini menjadi kaum minoritas. Kami diangkut dengan perahu menyebrangi teluk yang konon beberapa buaya tinggal di dalamnya. Sesekali juga ke evu desa sebelah, entah karena undangan kepala desa atau hanya undangan warga.
Ah,
kembali aku menitikan air mata. Otakku berputar, kembali pada sebagian memori
yang terekam indah. Tidak hanya sahur dan berbuka puasa yang kami lakukan
bersama, tak ketinggalan tentang rutinitas sholat taraweh. Kami melakukannya
secara berjamaah di mushola yang berada di ujung ohoi (desa). Itu adalah
mushola satu-satunya yang terletak di tengah sempitnya kampung muslim. Untuk
sampai disana, kami harus berjalan menyusur jalanan kecil di tengah ohoi (desa)
itu, dari kampung katolik menuju kampung muslim. Biasanya seusai sholat para
warga muslim menyuguhkan beberapa makanan khas ramadhan untuk di santap bersama
di mushola itu. Saat usai sholat taraweh, kembali kami menyusur jalanan kecil
itu untuk kembali ke pondokan. Sambil berjalan kaki, kami selalu suka menatap
langit pulau itu. Indah, taburan bintang dan milky way-nya seolah menghipnotis
di setiap malamnya. Salah seorang kawanku sempat berucap “Apakah orang-orang
disini tidak menyadari bahwa mereka punya langit yang luar biasa di setiap
malamnya? Ataukah mereka hanya telah terbiasa dengan langit ini?”....Aku
bergumam dalam hati “Tentu saja mereka telah terbiasa dengan langit ini, coba
saja mereka disuguhkan gemerlap langit malam ibukota. Mungkin mereka akan
bersorak soray seraya berkata “wah, luar biasa indahnya langit malam ibukota”.
Demikian sebaliknya dengan kita yang terlalu terbiasa dengan langit ibukota dan
hingar bingar kehidupannya, ketika berada di tempat terpencil dengan langit
indah itu maka kita pun berdecak kagum”. That’s
life.
Saat-saat
itulah yang juga menjadi favoritku, dan selalu ku tunggu di setiap harinya. Langit
kulihat begitu dekat. Bintang-bintang itu selalu menggelitik tangan kecil ini
untuk memainkan jemarinya. Lalu, seolah melukis sebuah wajah ke arah langit.
Ya, sebuah wajah yang selalu kurindukan. Pada mereka para bintang dan milky
way, aku titipkan salam rindu untuknya. Seseorang yang saat itu juga sedang berada
di sebuah pulau di ujung timur, yang mereka sebut surganya Indonesia.
Ramadhanku tahun lalu memang begitu meriah.
Meski jauh dari kedua orang tua dan keluarga namun tak kalah istimewa. Karena aku
melewatinya bersama sekelompok orang luar biasa yang kusebut sebagai keluarga
baru. Apapun itu, aku rindu. Aku rindu melihat cara hidup masyarakat timur. Aku
rindu dengan kawan-kawan unitku, aku rindu beraktifitas dan bercanda gurau
dengan mereka. Kawan-kawanku yang kuat dengan jiwa-jiwa pengabdiannya, inspiring, dan totalitas dalam setiap
karyanya. Hebat, mereka pengganti keluargaku saat aku jauh dari kedua orangtua.
Allah hadirkan mereka, membiarkan mereka berperan dan mengambil bagian dalam
hidupku. Aku bersyukur. (Maskam, Juli 2014).
Comments
Post a Comment